Saya menyebutnya fiksi mini (bukan prosa mini) karena fiksi mini memang bisa juga berbentuk puisi. Tetapi, tentu saja, bila menyangkut urusan kategorisasi, fiksi mini tetap harus memiliki elemen narataif atau penceritaan, untuk membedakannnya dengan ''puisi pendek'' (misalnya). Sebab, kita tahu, ada bentuk-bentuk puisi yang sangat pendek, seperti haiku, tetapi barang kali tetap lebih nyaman bila disebut sebagai puisi pendek, bukan fiksi mini. Maka, dalam fiksi mini itu, elemen dasar penceritaan atau naratif (yang karenanya menjadi lebih dekat pada prosa) bisa ditemukan. Kita mengenal elemen penceritaan seperti penokohan (protagonis dan antagonis), konflik, obstacles atau juga complication, dan resolution. Mungkin, pada fiksi mini, justru resolution yang dihindari, karena dalam fiksi mini, akhir (ending) menjadi semacam gema yang terus dibiarkan tumbuh dalam imajinasi pembaca. Karakter menjadi kelebatan tokoh yang seperti kita kenal, tetapi tak mudah dipastikan, dan karenanya bergerak cepat. Itulah yang justru membuat kita penasaran.
Menarik sekali, dulu saya sempat aktif di SSA (Sanggar Sastra Al-Amien), sempat nulis beberapa karya -meski tidak pernah diterbitkan atau menang dalam lomba manapun. He3X, tapi begitu sampe bangku kuliah ternyata tidak ada lagi kata-kata sastra yang imajenatif dan bertele-tele dengan keindahan bahasa, perkenalan dengan filsafat telah merubah saya menjadi lebih simpel -hanya beberapa kata singkat tuk mengungkapkan perasaan hati, bukan berbait-bait puisi. Seharusnya fiksi minilah yang jadi jawaban dari mana saya harus memulai tuk menulis lagi.
Rindu
Tenang saja, rindu takkan membunuhku dalam sehari.
0 komentar:
Posting Komentar