DIA, Perempuan Dicintai Luka

I

“Tunggu, jangan lari pengecut!” dari dalam rumah Raji berteriak lalu berlari sekuat tenaga mengejar lelaki bertopeng yang berlari kencang meninggalkan pekarangan rumahnya. Pria berumur 26 tahun bernama Raji adalah pribadi yang luar biasa, disegani lawan maupun kawan, badannya tegap dengan tinggi 180 centi, menguasai ilmu kanuragan dan dikenal sebagai jawara pilih tanding desa apalagi dirinya adalah seorang klebun, hampir mustahil ada yang berani mengusik ketenangan apalagi nekat menyatroni rumahnya. Tapi tidak malam ini, seorang lelaki bertopeng melumpuhkan dua orang yang berjaga depan rumahnya, berhasil menyusup ke dalam dan dengan begitu mudahnya kabur setelah berhasil mencuri apa yang dia cari, seorang bayi.
“kembalikan bayi itu atau celurit ini yang akan berbicara” lanjut Raji. langkah kaki lelaki bertopeng di depannya kian keras terdengar, dia tidak kalah cepat, tapi bayi itu pasti menyulitkan langkahnya, lagipula gerimis telah membuat jalanan menjadi licin. “Belum terlalu jauh untuk mengejar” pikirnya dalam hati.
Sang lelaki bertopeng menghentikan langkahnya. Dia tertegun mendengar kata-kata Raji, tangannya mengepal, gagang celurit dalam genggamannya kini basah oleh keringatnya yang mengucur deras, dia memandang tubuh mungil dalam gendongannya, begitu nyenyak seakan tidak terjadi apa-apa. Kini keraguan menyelimutinya, dia sadar, dia takkan tega membunuhnya.
“Letakkan bayi itu! Hadapi aku sebagai seorang lelaki, kita bertarung sampai mati!” Teriakan Raji semakin keras, emosinya telah mendidih, memuncak hingga ke ubun-ubun kepalanya.
Lelaki itu terkejut lalu membalikkan badannya, menoleh pada Raji yang kini hanya beberapa langkah di belakangnya. “Apakah kau akan membunuhku sebagaimana kau membunuh ayah kandungmu sendiri”
Nafas Raji naik turun, matanya kian melotot. “Siapa kamu? Apa maksudmu?”
Perlahan lelaki itu membuka udeng yang menutupi mukanya. Lelaki itu sudah cukup tua, umurnya hampir 60 tahun, wajahnya dipenuhi keriput, rambutnya tidak lagi hitam, uban telah menguasai kepalanya. “Apakah kau akan membunuh orang yang ikhlas merawatmu, Raji?”
Raji terperanjat, celurit dalam genggamannya nyaris terjatuh, nafasnya kian tidak beraturan, dia tidak mampu menyembunyikan keterkejutannya. Dia sangat mengenalnya “Paman. Apa maksudnya semua ini, Paman?” Raji tidak mampu berkata-kata, kemarahannya timbul tenggelam.
Kadir menghela nafas, menenangkan dirinya. Memang seharusnya dia tidak melakukan ini, tidak seharusnya bayi tidak berdosa dalam gendongannya menjadi korban kekhawatirannya. Keraguan masih menyelimutinya, bukankah dia punya alasan. “Harusnya kamu membuang jauh-jauh anak ini, kalau perlu bunuhlah dia dengan tanganmu sendiri”
Raji kian bingung. “Apa maksud paman? Aku tidak mungkin membunuhnya, anak itu telah kuanggap darah dagingku sendiri”
“Anak ini hanya kan membawa sial bagimu, dia memang terlahir untuk mendatangkan malapetaka bagimu” Kadir mengelus-ngelus jenggotnya yang telah memutih. Diperhatikannya raut muka Raji, penjelasannya padanya ternyata masih menyisahkan tanda tanya, begitu jelas tergambar pada wajahnya. “Percayalah pada ramalanku, aku melihat tanda-tanda tidak baik pada anak ini. Kelak bila dia tumbuh dewasa ke mana dia melangkah, maka akan tersebar bau anyir darah”
“Paman, aku tidak peduli dengan itu semua. Aku Raji, aku tidak pernah takut menghadapi takdir, apalagi pada ramalan yang belum tentu terjadi”
“Kamu memang keras kepala seperti ayah dan ibumu,” lagi-lagi Kadir diselimuti keraguan, apakah dia akan mengungkit kenangan pahit itu kembali. Dia menghela nafas, keraguannya begitu jelas tergambar. “Kamu tahu sendiri, kematian ibumu di tangan ayahmu lalu murkahmu atas kematiannya yang membuatmu gelap mata lalu membunuh ayah kandungmu sendiri; semua sudah paman ramalkan jauh sebelum kelahiranmu, tapi ayahmu tidak pernah percaya ramalan, sama sepertimu”
Raji memandangi celurit dalam genggamannya, celurit yang sama, yang merenggut nyawa ayah dan ibunya. Dia melemparkan celurit itu ke tanah, tanah yang gembur membuat benda itu menancap cukup dalam. Dia berlutut, kedua tangannya menutup mukanya, bayangan kedua orang tuanya memenuhi kegelapan saat dia terpejam, suara jeritan ibu dan murka ayahnya tidak henti menggema dalam pikirannya. Rasanya baru kemarin semuanaya terjadi.
Sampai kapanpun Raji tidak mungkin melupakan peristiwa itu. Tepatnya sepuluh tahun yang lalu, ketika dia baru berumur 16 tahun. Raji muda adalah anak yang pemberani, dibandingkan teman-temannya yang lain badannya tak terlalu besar, tapi tidak seorangpun yang mungkin berani mengganggunya, selain karena sudah berlatih bela diri sejak kecil, terlebih karena reputasi keluarganya, membuat orang lain yang berurusan dengannya memilih mundur hanya karena mendengar namanya.
Ibunya bernama Aminah, gadis desa yang baik hati, cantik dan menarik minat semua lelaki untuk meminang atau sekedar usil menggodanya, tapi semua tentu mengurungkan niatnya begitu tahu siapa kakaknya. Kadir, sang jawara desa. Ditambah lagi bila mendengar dengan siapa mereka harus bersaing untuk mendapatkannya. Suraji, anak juragan tanah juga kakak seperguruan Kadir, yang tentu saja tak kalah hebat.
Berbeda dengan ibunya, ayah Raji, Suraji adalah orang yang kasar, tidak mengenal kompromi, berambisi, terutama untuk menjadi seorang klebun. Keinginannya wajib terpenuhi dan tentu saja dia mampu menghalalkan segala cara. Tapi bukan itu perangai buruk yang menyebabkan kematiannya, dia adalah lelaki hidung belang yang doyan perempuan, itulah yang mengantarkannya sedikit lebih cepat pada kematian, terbakar cemburu dan amarah yang memuncak, menyebabkan istrinya, ibu Raji. Nekat menikamnya dengan celuritnya sendiri dari belakang. Namun luka yang menganga di punggungnya karena sabetan celurit ternyata belum cukup untuk membunuhnya. Suraji berhasil membalikkan keadaan. Meskipun Aminah adalah adik kandung Kadir, namun sama sekali tidak mempelajari kanuragan. Sekali tendang cukup bagi Suraji untuk menjatuhkannya. Celurit dalam genggaman Aminah terlepas dan secepat kilat Suraji berguling lalu meraihnya. Satu tebasan cukup untuk mengantarkan wanita malang itu pada kematian, namun malam itu lagu kematian belum berakhir secepat itu.
“Apa yang ayah lakukan?” Raji muda berteriak pada ayahnya. Matanya melotot, keringat mengucur deras di sekujur tubuhnya. Tubuhnya lemas oleh apa yang baru saja terjadi, ibunya terbunuh tepat di hadapannya dan pembunuhnya adalah orang yang paling dia banggakan, ayahnya sendiri.
“Ibumu perempuam sundal, sudah seharusnya dia mati” bukannya menyesal atas apa yang baru saja terjadi, Suraji malah mengutuk dan meludahi tubuh Aminah yang tergolek tidak bernyawa.
Nafas Raji tak beraturan, kemarahannya kian menjadi-jadi, namun dia tidak mampu menyembunyikan ketakutannya, dia tidak berani menghadapi ayahnya, apalagi lelaki di depannya bukanlah lagi sosok ayah yang dikenalnya, melainkan iblis yang jauh lebih menakutkan.
“Pergi kau, bocah terkutuk” Suraji berteriak pada Raji. Mengacung-acungkan celuritnya.
Raji bergeming, tanpa sadar ketakutan telah menuntun kakinya mundur beberapa langkah, namun tangannya mengepal, tekadnya sudah bulat. “Dia bukan ayah, dia iblis, dia harus mati!” batinnya berteriak lalu terdengar sebagai gumam-gumam pelan amarah.
“Pergi kau, atau dengan celurit ini kau juga akan kubu…” belum sempat mengakhiri kata-katanya, Suraji terjatuh menghantam dinding, dia tak mengira Raji bakal berlari dan menendangnya, dia tak sempat menghindar, tendangan Raji telak mengenai dadanya dan inilah hasilnya. Dadanya sesak, dia kesulitan bernafas, perih yang berasal dari luka yang mengangah di punggungnya kian menjadi. Dia meraih celurit yang terlepas dari genggamannya dan dengan susah payah berusaha berdiri kembali. Dia meludah, terasa asin karena darah memenuhi kerongkongannya.
“Anak kurang ajar” Suraji berteriak dan secepat yang dia mampu menyerang ke arah Raji. Dalam keadaan biasa, Raji tentu takkan mampu menandingi Suraji, ayah sekaligus gurunya, tapi tidak saat ini, Raji mampu mengelak dari tebasan celurit ayahnya, lagi dan lagi.
Lama-kelamaan gerakan Suraji kian tak terkendali, dia ayunkan celuritnya ke segala arah. Nafasnya kian berat ditambah lagi dengan luka di punggungnya yang perihnya semakin menjadi-jadi. Suraji kelelahan, namun Raji belum berani menyerang, dia hanya mampu mengelak dan menghindar, celurit di tangan ayahnya membuatnya berfikir dua kali. Tempo duel kian melambat, Suraji sudah sangat lelah. Keringat bercampur darah yang mengucur dari tubuhnya membasahi lantai di sekitar tempatnya berdiri. Dia menunduk, namun matanya tak henti memandang Raji, kalau tahu ini semua kan terjadi, dia pasti akan membunuhnya sejak dulu, tak peduli meskipun dia adalah darah dagingnya sendiri.
Raji tak menyia-nyiakan kesempatan, ayahnya yang menunduk kelelahan adalah mangsa harus segera dia terkam, namun ternyata tak semuda yang dia kira …
“Aaah …!” Raji berteriak, mengerang kesakitan, lutut kanannya terasa perih. Dia ambruk, sebilah celurit telah bersarang dalam lututnya. Dia tidak menyangka ayahnya akan melemparkan celuritnya. Sebenarnya Raji belum terlambat menyadarinya, dia sempat menghentikan langkah lalu melindungi kepala dan dadanya dengan kedua tangannya, namun ternyata ayahnya mengincar sasaran yang lain, lututnya.
Erangan Raji kian keras, Raji muda belum siap menerima luka separah ini. Suraji mendekat, malam ini dia telah membunuh istrinya dan di malam yang sama anaknya sebentar lagi juga kan menyusul ibinya ke alam kematian. Suraji kian dekat, hanya beberapa langkah dari tubuh Raji yang belum mampu bangkit. Dia tersenyum, kemenangan sudah berada di tangannya, namun …
“Aaargh …!” Suraji meraung. Raji menikamnya tepat di ulu hatinya. Suraji tidak menyangka Raji akan secepat itu bangkit, dia sama sekali tidak memiliki kesiapan. Terlambat untuk menyesali, dia tak menyangka semua ini kan terjadi. Dia dibunuh darah dagingnya, mati tertusuk celuritnya sendiri.
Raji tersadar dari lamunannya akan kenangan pahit sepuluh tahun yang lalu. Gerimis mengucur kian deras membuat malam semakin kelam. Raji memandang bayi di gendongan pamannya. “Bunuh saja anak itu, bukankah dia hanya anak tirimu” Bisikan jahat memenuhi pikiran Raji. Raji berfikir keras, dia menarik nafas dalam-dalam, dia sudah membuat keputusan.
Kadir memandangi Raji dengan penuh tanda tanya, meski dia sudah merawat dan mendidik Raji sejak kecil, dia tetap tidak bisa menebak apa yang ada dalam pikirannya. Bisa jadi dia marah padanya lalu menyerangnya atau malah sebaliknya, bisa juga dia setuju dengan pendapatnya untuk membunuh bayi itu.
Raji berdiri lalu mendekat pada pamannya. “Maafkan aku paman, aku sudah membuat keputusan, aku akan merawat anak itu apapun takdir yang akan menungguku” Akhirnya Raji sudah berdiri tepat di depan Pamannya.
Kadir masih ragu dengan apa yang yang harus dia perbuat. Dipandanginya wajah bayi itu sekali lagi. “Kalau memang itu sudah menjadi keputusanmu aku setuju saja, kita akan mendidiknya bersama-sama.” Kadir mendekat pada Raji, diserahkannya bayi dalam gendongannya. “Semoga saja apa yang kuramalkan tidak pernah terjadi”
Raji bisa memahami jalan pikiran pamannya. Kekhawatiran pamannya tentu punya alasan, tapi apapun alasannya bayi dalam gendongnya sama sekali tidak berdosa, dia tetap tak tega membunuhnya atau melihatnya dibunuh.
Hujan telah reda, seperti sebilah celurit yang teracung, tinggi di langit sana bulan sabit tersenyum bangga. Dalam gendongan Raji, bayi bernama Humaidi membuka matanya lalu membalas senyum sang rembulan.

nb:
Novel 'DIA, Perempuan Dicintai Luka' adalah pelampiasan dari sebuah ide nekat: Mencoba menulis novel, padahal untuk menulis puisi dan cerpen saja tidak bisa konsisten, jadi tidak heran kalau novel ini tidak lagi berlanjut. Selain novel ini ada beberapa judul lain yang juga berstatus pending, di antaranya 'NURUL', 'Kampus' dan 'KaliGrafity'. Yang jelas, saya memang tidak bisa menolakide yang datang.

0 komentar:

Kunjungan

free hit counter
 

KhuzaiE menggunakan Revolution Two Church theme oleh Brian Gardner adaptasi ke Blogger oleh Bloganol dot com