BLOG: memang Bukan untuk oLang goblOG

Ie dah nyoba bikin blog sejak lama, yang pertama kali Ie kenal adalah multiply (Url-nya http://khuzaie.multiply.com/) terus wordpress (Url-nya http://khuzaie.wordpress.com/) eh tapi ternyata dalam beberapa bulan tu blog pada mangkrak semua, alasannya klasik: #1 kurang dana dan prasarana, #2 kurangnya frekuensi OL n akses internet, #3 kurang ajar kurangnya konsistensi Ie dalam menulis.
Tapi sudah lama, sekarang semua kendala sudah beres, tinggal kendala terakhir ja yang bolak-balik menghantui Ie... Hingga hari ini, alhamdulillah Ie masih punya komitmen tuk nulis, biarpun -seperti moto blog ini- cuma asal nulis, dan *eng...ing...eng!* jadilah blog AsalMuasalKu ini. . . *warning: dilarang bilang blog ini jelek, Ie gi dalam tahap belajar, ntar kalo diejek bisa2 Ie patah semangat. Kalo bagus, jangan dipuji -tapi kasih hadiah dunk- ngarep banget...*
Read More...

Kuliah Itu Cuma 7 Kata

Mangkel...
Read More...

Write Again *Why Not!*

Komunikasi perdana dengan Bening via FS hari Jum'at kemarin (30 Mei) n komunikasi via telpon dengan Mtqtk Jum'at sebelumnya (23 Mei) ternyata nginspirasi Ie tuk menulis kembali. Ditambah lagi dengan kedatangan Puput n tentu saja didukung juga adanya akses ke koneksi internet 24 jam nonstop *bismillah* Ie akan mulai menulis lagi n Blog inilah korbannya...
Tapi sebelumnya, mari sama-sama baca karya Ie yg terakhir, ada sebuah puisi n cerpen:

Pamit
Aku Pamitan, kita berjabat tangan. Sepi kubawa pergi, tapi kuharap darimu sepi kan terlahir kembali, dari rahim rindu kurang dari seminggu.
Cuaca cukup cerah, tapi pagi permisi pergi, karena kita mengunci mentari di luar rumah, hingga jendela tak memberinya cukup celah tuk menyala.
Ada malam di rambutmu. Tutupi! Masih terlalu pagi tuk bermimipi.
Aku harus segera pergi, sebelum terlalu dalam kutenggelam dalam malammu. Entah kenapa tak ada mendung di mata kita, tapi sudahlah, mata kita masih terlalu kemarau tuk turun hujan. Akhirnya kaki kubawa melangkah, aku menoleh, kamu di pintu lalu kamu terpaku; Tidak, aku tetap harus pergi.
Ada mentari di atas kepalaku, kukira itu kamu.
Ingin kubunuh waktu, karena indah senja serona pipimu merah.
Kulepas penat, selepas pekat kan kuseberangi selat. Kuucap pisah pada tanah ini, pada Jawa yang memulaukan kita, Madura.
Seakan rambutmu tergerai sampai kemari. Sampai di mimpiku juga nyata yang sama kelamnya. Pada dua-sepertiga malam terselip sepertiga purnama. Sesabit celurit sebilah senyum teracung menantang mendung.
Kuharap itu senyummu, karena hanya kamu yang mampu madura-kan aku.

Dalegan-Prenduan 30/10/2006

Puisi ini Ie tulis tuk d2 hampir 2taon silam (Syawal 2006) dalam perjalanan Ie balik ke pondok... Ie gak punya komentar dari segi kualitasnya *kalo gak mau dibilang jelek* yang jelas kadang Ie juga muak baca puisi Ie sendiri, kayaknya terlalu sentimen n terbawa suasana, bahkan mellow *walah*. Oh ya, ni cerpennya *Percaya gak, cerpen ni terinspirasi oleh Tante*:

Namanya
Namanya mungkin Rina, tapi bisa saja Ririn, Rindu atau apalah, tapi kupikir namanya pasti lebih islami dari nama-nama itu, karena tidak seperti mahasiswi-mahasiswi lain di kampusku, dia berjilbab. Yang jelas, siapapun namanya, wanita itu sudah membuatku penasaran sejak pertemuan pertama, karena memang dia sudah terburu-buru pergi sebelum aku sempat menanyakan namanya, tapi yang membuatku menyesal adalah setelah itu kami tidak pernah bertemu lagi.
Aku bertemu dengannya sebulan yang lalu di sini, di perpustakaan yang selalu sepi ini. Dia menghampiriku ketika aku sedang serius membaca, kukira dia mau menanyakan sesuatu padaku, tapi ternyata dia mengeluarkan pulpen dari tasnya lalu dengan penuh harap dia menyodorkan buku yang didekapnya dari tadi, sebuah novel berjudul Kampus. Ternyata dia mau minta tanda tanganku.
“Anda Arvan Setiawan, pengarang novel ini kan?” begitulah kata-katanya untuk memulai pertemuan pertama kami. “Saya penggemar novel anda. Ceritanya sangat menarik dan penuh dengan filosofi hidup”
Sungguh sangat tidak kusangka, ternyata ada yang tertarik dengan novel perdanaku itu, apalagi sampai minta tanda tangan. Aku jadi salah tingkah. Dengan sedikit basa-basi aku sok jual mahal, tapi tentu saja akhirnya kutorehkan tanda tanganku di bukunya.
Bersamaan dengan coretan terakhir tanda tanganku, seorang wanita tidak berjilbab menyahut dari depan pintu perpustakaan, wanita itu melambaikan tangannya kepada kami. Aku tidak mengenalnya, tapi gadis yang meminta tanda tanganku tadi terlihat panik, dia melihat jam tangannya lalu membawa tas pinggangnya dan berlari kecil menuju wanita itu, tapi ternyata dia kembali lagi.
“Terima kasih, senang bisa bertemu dengan anda. Semoga kita bisa bertemu lagi” Tenyata meskipun terburu-buru dia masih menyempatkan dirinya untuk berpamitan, lalu kembali berlari menuju temannya yang menunggu di depan pintu perpustakaan.
“Cepat, kita sudah terlambat…” sekilas kudengar keluhan temannya. Mungkin mata kuliah mereka hari ini diajarkan oleh dosen yang killer.
“Wanita yang aneh” gumamku dalam hati. Aku melanjutkan bacaanku, sambil memainkan pulpen yang ada dalam genggamanku.
“Pulpen?” tanyaku dalam hati. “Ya ampun, ternyata wanita itu melupakan pulpennya” aku beranjak dari tempat dudukku menuju pintu perpustakaan, tapi sia-sia, ternyata dia sudah tak terlihat lagi. “Ah sudahlah, lain kali kalau aku bertemu lagi, akan kukembalikan padanya”
Aku kembali melanjutkan bacaanku lagi. Kulempar pulpen itu begitu saja ke atas bangku. “Aduh, sudah sampai di mana aku tadi ya?” tanyaku dalam hati. Gara-gara wanita itu aku jadi lupa batas terakhir membacaku. Akupun merapikan buku-buku di depanku, semuanya ada enam buku, aku menumpuknya menjadi satu “Akan kupinjam semuanya”
Selesai mengurus adminitrasi peminjaman pada petugas perpustakaan. Aku langsung pergi, aku hampir saja lupa, aku masih meninggalkan pulpen gadis berjilbab itu di atas meja. Aku menuju meja tempatku tadi membaca, ketika kuraih pulpen itu aku hanya bisa geleng-geleng melihat sampul buku yang ada di bawahnya.
“Aduh, dia benar-benar ceroboh. Dia juga lupa, dia meninggalkan bukunya, novel karyaku yang kutandatangani tadi”
***
Sudah sebulan semenjak pertemuan pertama kami, namun hingga kini aku belum pernah bertemu dengannya. Aku sudah mencarinya kemana-mana, tapi hasilnya selalu nihil. Aku selalu mengunjungi perpustakaan ini di hari dan jam yang sama dengan waktu itu, tapi hasilnya sama saja, aku tidak pernah bertemu dengannya. Tak jarang akupun shalat di mushalla kampus dan menyempatkan diri mampir ke kantor LDK di sampingnya, berharap aku bisa bertemu dengannya di sana, tapi jangankan bertemu, ternyata tidak ada satupun teman-teman anggota LDK yang mengenalnya.
“Dia tidak pernah nampak di mushalla dan tidak satupun anggota LDK yang mengenalnya. Apa dia bukan mahasiswi sini?” rasa penasaran mendorong otakku tuk berfikir keras. “Aduh, kalo ini terus berlanjut mungkin aku bisa mati penasaran…”
“Fan, lagi ngapain kok ngomong sendiri?” Tanya lelaki berkopyah yang ada di belakangku, aku malu untuk menoleh karena mukaku merah padam, tapi aku sangat mengenal suaranya, dia Kamil. Akupun menoleh, dan tenyata memang benar dia Kamil, ketua LDK.
“Nggak kok Mil, aku Cuma sedang… sedang…” aku kesulitan mencari-cari alasan.
“Sedang ngelamunin cewek ya?” aku serasa di-skak mat. Mukaku memerah dan aku kehabisan kata. Aku ketahuan.
“Nggak lagi, mana mungkin ada wanita yang bisa membuatku jatuh hati” aku tidak mau kalah, aku mencoba tuk menutupi.
“Tentu saja ada, wanita berjilbab yang pernah kamu temui di perpustakaan dan meminta tanda tangan kamu, benar kan?” Tanya Kamil penuh selidik
“Kok tahu sih?” aku balik bertanya.
“Tentu saja aku tahu, kamu bertanya tentang wanita itu kepada setiap anggota LDK, tapi kamu tidak bertanya kepadaku, ketua mereka, yang tentu saja dalam hal itu lebih tahu dibanding mereka. Dari situ aku mulai curiga dan membuatku yakin kalau wanita itu pasti memiliki tempat khusus di hatimu sehingga kamu merahasiakannya dariku” aku setengah memperhatikan perkataan Kamil, satu hal yang kubenci dari dia adalah, dia sangat cerewet. “Ingat Fan, di sini mushalla, rumah Tuhan, salah besar kalau kamu mencari perempuan di sini. Dan ingatlah, pacaran itu haram, karena termasuk mendekati zina…”
“Jadi kamu tahu siapa dia?” tanyaku memotong ceramah Kamil.
“Tidak” jawabnya singkat, tapi lebih dari cukup tuk membuatku kecewa dan sedikit marah.
“Kenapa tidak bilang dari tadi!?” akupun ngeloyor pergi.
“Tunggu Fan, kamu bilang dia tertarik dengan novelmu, novel yang mana?” Kamil mencegatku dengan pertanyaannya.
“Judulnya Kampus, itu novel perdanaku, seingatku hanya anak-anak LDK yang tertarik pada novel itu”
“Oh ya, aku ingat novel itu, anak-anak LDK sangat tertarik pada novel itu. Mereka tertarik pada karakter-karakter utamanya, ada Maimunah si santriwati gaul tapi hafal Al-Qur’an dan ribuan Hadits, juga si Fathimah, anak kiai yang jadi primadona kampus dan selalu saja digoda oleh mahasiswa-mahasiswa paling keren di kampusnya, atau mungkin sama sepertiku, mereka mungkin tertarik pada ulah konyol Ramly, ketua LDK yang tidak hafal bacaan shalat dan tidak bisa mengaji. Aku juga masih ingat, karena novel itu juga kamu dimusuhi oleh Bayu dan anak-anak MAPALA yang lain yang tersinggung dengan novelmu yang menyatakan kalau anak-anak MAPALA tidak layak disebut sebagai pecinta alam karena mereka cuma pandai mendaki gunung, tapi tidak senang menjaga kebersihan kampus. Ngomong-ngomong, mereka masih marah tidak?”
“Entahlah” jawabku singkat. Dan akupun pergi meninggalkan Kamil.
“Eh, tunggu Fan!” lagi-lagi Kamil mencegah kepergianku.
Ada apa lagi?” aku bertanya dengan nada jengkel
“Lihat ke wanita berjilbab biru di depan pintu gerbang!” Kamil berteriak dan menunjuk ke pintu gerbang kampus, akupun langsung menolehkan wajahku ke arah yang ditunjuknya. “Apa dia wanita yang kamu maksud?”
“Ya itu dia!” akupun berlari menuju ke arah wanita itu, dia tak henti melihat jam tangannya “Dia pasti sedang menunggu angkutan umum” gumamku dalam hati. Akupun berlari lebih kencang lagi sambil merogoh tas punggungku, memastikan keberadaan buku dan pulpennya.
“Eh, tasku?” aku baru sadar, aku meninggalkan tas punggungku di serambi mushalla. Aku menoleh ke belakang, ke arah mushalla tempatku ngobrol dengan Kamil tadi, dan ternyata memang benar, aku meninggalkannya di sana. Aku ragu, apakah aku akan kembali ke mushalla lalu mengambil buku dan penanya terlebih dahulu ataukah langsung menemuinya. Aku kembali menoleh ke arah wanita itu, dia masih berada di sana, dengan posisi yang sama dan lagi-lagi dia melihat jam tangannya. “Ternyata dia memang… sempurna.”
“Ups!” aku tersadar dari lamunan sesaatku. Aku sudah membuat keputusan. Aku berlari ke arah mushalla. “Mil, lemparkan tasku kemari!” aku berteriak kepada Kamil. Dia mengambil tas itu lalu melemparkannya ke arahku “Celaka, dia melemparkannya terlalu kencang” keluhku dalam hati. Aku tidak dapat meraih tasku, benda itu jatuh di belakangku dan isinya berhamburan. Aku tidak berkata apa-apa, aku buru-buru merapikannya. “Mana pulpennya” aku agak kesulitan menemukan pulpen itu, ternyata benda itu terpisah agak jauh dari yang lain. Aku meraihnya sambil berlari, tapi betapa terkejutnya ketika hampir sampai, aku melihat ke arah pintu gerbang, ternyata wanita itu sudah tidak ada di sana, dan tentu saja sekali lagi aku kecewa.
“Aduh!” aku hanya bisa mengeluh, aku berjalan gontai sambil menundukkan kepalaku, aku tersenyum, aku baru sadar kalau sepatu yang kukenakan berbeda satu sama lain dan parahnya, dua-duanya ternyata bukan sepatuku. “Pasti tertukar di mushalla” gumamku dalam hati, lalu akupun kembali menuju mushalla.
Aku hanya bisa duduk termenung di serambi mushalla. “Benar-benar hari yang mengecewakan” gerutuku dalam hati. “Oh ya, Kamil pasti tahu siapa dia” tiba-tiba semangatku kembali datang. Aku mencari dia di sekitar mushalla, tapi aku tidak menemukannya. “Mungkin dia di kantor LDK” lagi-lagi aku bicara sendiri. Dan akupun menuju ke kantor LDK.
Ternyata Kamil memang di sana. Dia sedang menulis sesuatu di diary-nya, tapi melihat kedatanganku dia buru-buru menutupnya. “Kalau dia merahasiakannya dariku, pasti dia pasti menulis tentang aku” gumamku dalam hati, “Tapi sudahlah, biarkan saja itu kan diary pribadinya”
Aku mendekat ke arah Kamil yang duduk di meja kerjanya. “Apakah kamu mengenal wanita itu?” tanyaku antusias dan penuh harap.
“Tidak, kan tadi aku sudah bilang” jawabnya singkat, tapi cukup sukses untuk sekali lagi membuatku kecewa.
Aku berbalik dan meninggalkannya. Kulangkahkan kakiku menuju ke ambang pintu. Tapi aku kembali dan lagi-lagi dia terkejut ketika aku kembali berdiri di ambang pintu kantor. “Oh ya, assalamu ‘alaikum”
“Wa ‘alaikumussalam” Kamil menjawab salamku dengan tersenyum.
Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba saja aku ingin untuk mengucapkan salam terlebih dahulu, “Tapi sudahlah, mengucapkan salam kan perbuatan yang baik” gumamku dalam hati.
“Dasar sastrawan” teriak Kamil tanpa henti tersenyum padaku.
***
“Kamu yakin tidak ada cara lain selain ini?” tanya Roni, si jago komputer yang malam ini kuajak menyelinap ke perpustakaan.
“Aku sudah mencoba segala cara, tapi ujung-ujungnya selalu saja gagal” jawabku dengan berbisik. “Apa benar kamu bisa membuka komputer di perpustakaan?” aku balik tanya padanya.
“Tenang saja, semua orang juga tahu kalau komputer perpustakaan tidak di-password”
“Kenapa tidak bilang dari tadi!?” aku melampiaskan kemarahanku dengan memukul pelan kepalanya “kamu tu memang pandai membuat orang jengkel”
“Sorry deh Fan, kalau aku ngasih tahu kamu nanti aku nggak boleh ikut dong”
“Ssst…” aku mendesis dan menaruh telunjukku di depan mulut. “Ada yang datang. Cepat kita harus segera masuk” kami mengendap-mengendap di depan pintu masuk perpustakaan.
“Mana kuncinya?” Tanya Roni sambil berbisik.
“Siapa bilang kita mau masuk lewat pintu, aku sudah menyelidiki dari kemarin, jendela kedua disamping kiri pintu masuk tidak bisa dikunci dari dalam, dari sanalah kita akan masuk”
“Itu sama aja dengan mencuri dong, nanti bisa-bisa kita dikeluarkan karenanya”
“Tenang saja, kita tidak mengambil apa-apa kok, lagipula kampus tidak dirugikan atas apa yang kita lakukan dan yang terpenting, kita tidak mungkin ketahuan”
kami berjalan menyusuri dinding bagian depan perpustakaan, gelapnya malam tidak mampu menyembunyikan catnya yang sudah luntur dan mengelupas. “Ini dia” aku menunjuk jendela di depan kami.
Roni mencoba membukanya. “Tidak bisa, kita membutuhkan alat tuk membukanya” keluh Roni.
“Ini” jawabku singkat sambil mengeluarkan sendok dari saku jaketku. Roni tersenyum dan mungkin tawanya nyaris meledak andai ku tidak segera menutup mulutnya. “Jangan bersuara, tinggal selangkah lagi, gawat kalau sampai kita ketahuan satpam”
Aku memasukkan ujung sendok ke sela jendela, mencongkelnya dan akhirnya…
“Terbuka” komentar Roni, sambil tersenyum. “Ternyata kamu memang punya bakat jadi maling” lanjutnya.
“Salah, presentase untuk jadi maling tu bakat cuma 1 persen dan 99 persen sisanya adalah usaha dan kemauan” gurauku untuk mencairkan ketegangan.
“Iya dah, filsuf” komentar Roni sembari tersenyum.
“Ayo kita masuk, kamu duluan” aku berjongkok menghadap ke tembok agar Roni dapat menggunakan tubuhku sebagai pijakan. Ternyata Roni berat juga aku hampir tersungkur membentur tembok karena dia langsung naik sebelum kusiap terbebani berat tubuhnya.
Roni sudah sampai di dalam. “Tarik aku!” Roni menarikku masuk, aku juga meloncat lalu sebisa mungkin menggunakan tembok sebagai pijakan.
Akhirnya kami berdua berhasil masuk. Tidak ada satupun lampu yang menyala. “Dalam kondisi biasa saja perpustakaan ini sepi pengunjung, apalagi tengah malam seperti ini” pikirku dalam hati.
Roni mulai menyalakan komputer perpustakaan. “Di dalam komputer ini terdapat aplikasi khusus yang mencatat segala bentuk adminitrasi perpustakaan, mulai dari data buku, pengunjung serta peminjaman hingga data singkat peminjam yang di-copy dari komputer induk”
“Maksudnya?” Tanyaku tak mengerti penjelasan Roni yang panjang lebar.
“Singkatnya, dengan mengecek hari ketika kamu bertemu dia, kita bisa tahu siapa gadis manis yang membuatmu penasaran setengah mati. Oh ya, dia minjam buku kan?”
“Entahlah, memangnya kenapa?”
“Kalo benar dia meminjam buku, berarti pekerjaan kita lebih mudah, karena sesuai prosedur peminjaman yang berlaku di perpustakaan ini, peminjam harus menyerahkan kartu pengenal dan ketika itu pula petugas menulis data lengkap peminjam termasuk tanggal lahir, alamat bahkan bisa jadi data tersebut dilengkapi foto…”
“Bisa dimulai sekarang?” tanyaku memotong penjelasan Roni yang terlampau panjang.
“Bisa” Roni sudah membuka aplikasi yang dimaksud. Dia hanya meng-klik dan sesekali mengetik. Dan akhirnya…
“Berhasil” Roni tersenyum puas. Aplikasi tersebut menampilkan daftar nama pengunjung. Ternyata ada banyak nama di hari kubertemu dengan wanita itu, tapi tidak ada yang cocok.
“Fathimah, Kristina, Nashrullah, Achmad, Abdurrahman, Karina, Huurin ‘Ien…” Aku tersenyum puas “Ini dia. Benar-benar nama yang sesuai dengan pemiliknya”
“Sesuai, jadi maksudmu gadis itu aneh?”
“Bukan aneh, tapi keren. Huurin ‘Ien, artinya bidadari bermata jeli”
Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki mendekat “Kita harus mematikan komputer ini” kataku panik.
“Tunggu, kita harus mencari tahu kapan saja dia berkunjung” Roni kembali memegang mouse “Ini dia” Roni tersenyum.
“Mereka datang” aku memperingatkan.
Dengan segera Roni membuka jaket dan menutupkannya pada monitor. “Menunduk!” Kami menunduk sedalam mungkin. Terdengar dua orang bicara di depan pintu perpustakaan. Beruntung, tidak lama berselang mereka berlalu pergi.
Roni mengambil jaketnya dari monitor. Monitor tidak menampilkan data lengkap mahasiswi bernama Huuriin ‘Ien, mungkin karena dia tidak pernah meminjam buku atau bisas saja dia bukan mahasiswi sini. Tidak ada alamat apalagi foto, tapi setidaknya ada keterangan yang menunjukkan waktu berkunjungnya. “Hari minggu di tiap akhir bulan. Berarti…”
“Besok” Kami saling pandang. “Misi selesai, kita harus segera pulang”
***
Sejak perpustakaan dibuka, aku sudah duduk di bangku yang sama dengan waktu pertama kali bertemu dengannya. Aku juga memakai baju yang sama, tapi kenapa sepertinya masih ada yang kurang. “Oh ya…” Aku mengeluarkan buku dan pulpennya dari dalam tas lalu menaruhnya di atas meja. Sekilas aku memeriksa hadiah yang kupersiapkan untuknya, sebuah Al-Quran terjemahan ukuran saku yang masih terbungkus rapi. “Kira-kira dia suka tidak ya dengan hadiah ini?” tanyaku dalam hati.
Ternyata dia datang. Dia memakai baju berwarna merah hati dan jilbab kusut berwarna pink. Mata kami sempat berpandangan, dia menunduk malu.
“Assalamu ‘alaikum. Apa benar nama kamu Huurin ‘Ien?”
Dia nampak kebingungan, mungkin heran karena kumengetahui namanya, tapi bukannya balik bertanya ternyata kemudian dia tersenyum. Dia masih belum membuka mulut.
“Apa ada yang salah?” tanyaku memancingnya untuk bicara.
“Maaf, nama saya bukan Huurin ‘Ien, lagipula…”
Dia tidak melanjutkan kata-katanya. Tangannya memegang kalung yang tertutup jilbabnya. “lagipula…” dia masih ragu untuk mengatakannya, tapi bandul di kalung yang dia pegang telah mewakili jawabannya. Sebuah salib.
“Maaf, jadi anda bukan muslim?” Aku kian binggung. Apakah aku jatuh cinta padanya karena sifatnya, agamanya, ataukah hanya karena dorongan nafsu. Entahlah, tapi setidaknya aku sudah bisa menebak siapa namanya…

Prenduan, 04 Desember 2007

Sekarang tinggal nata niat n komitmen, trus *bismillah* Ie akan mulai nulis lagi... *doain ya*

Read More...

Codename: PRINCESS

Matahari mugkin tenggelam ketika senja, tapi kayaknya kemarin hari baru dimulai setelahnya: Ada SMS dari Puput, dy dah nyampe Perak; Dy bener2 datang. Y udah, langsung ja Ie aktifin IM3 *untung gi ada pulsa* SMSan deh sampe jam 11 malem, nunggu dy dateng, lewat di depan mata Ie.
Perpisahan hanyalah jeda
Untuk kita yang lelah membaca
Teman bukan berarti bertemu seharian
Rasa aman, kebersamaan dan kepercayaan
Itulah teman, itulah kau. . .
Sudah setahun ya, rasanya baru kemarin Ie ditinggal Puput n ternyata sampai saat ni belum ada yang gantiin dia, tapi entah kenapa ketika kemarin ketemu kok gak ada perasaan apa-apa, hati Ie mang gi blank, di hati Ie gak ada yang namanya cinta *atau mungkin Ie memang gak punya hati* Ah sudahlah, whatever dalam benak Ie sekarang, Ie cuma ingin jadi kakak yg bijak, adik yang baik n tentu saja teman yang bisa diandalkan.
Read More...

Maybe at May

Setelah hampir 2minggu gak tidur malam, hari-hari ni Ie tidur terlampau nyenyak. Pertama Ie tidur mulai ba'da Isya' sampai jam 2 dini hari terus hari berikutnya (ahad, 25 Mei) malah mulai habis maghrib sampai jam 2 dini hari begitu juga hari selanjutnya. Nah, hari senin kemarin (26 Mei), seperti biasanya Ie hendak menunaikan puasa sunah, eh ternyata teman-teman Ie yang biasanya puasa bareng gi pada sakit semua... (he3X, Ie gak sahur hari ni) dan ternyata akhirnya dengan berbekal air putih, bismillah, mari kita puasa... eh, ternyata hari ini juga gitu, temen2 pada lupa kalo hari ni hari kamis… mereka gak ada yang nyiapin sahur.
Sebentar lagi bulan Mei berakhir, Puput janji mau datang -tepatnya besok, jum'at 30 Mei-... (Horeee... Ie bakal dapet ole-ole). Alhamdulillah, dalam satu tahun ni banyak perubahan positif dalam diri Ie, Puput-lah salah satu sebab/alasannya, memang benar kata Mtqtk "...yang trindah it kdang bukn yg trbaik 4 qt" Di bulan Mei memang ada banyak kenangan, tapi harusnya "...kngan tu d kubur aj n tiap mlem jum'at d bcain ysin..." ah sudahlah, terlepas dari itu semua, Ie masih yakin bahwa segala hal di dunia ni adalah cobaan yang harus Ie jalani, namun di sisi lain segalanya juga merupakan nikmat yang harus Ie syukuri (jadi ingat email yang barusan masuk, katanya saya bijak juga rupanya... ya jelas harus bijak, kan adiknya BIJ -Ni nama asli Tante-, he3X)
Hmhmmm... mau nyiapin apa ya buat nyambut Puput... bagaimana kalau Ketika Cinta Bertasbih #2, bukankah bulan Mei tahun lalu Ie sudah beri yang #1

Oh ya, kemarin sempat SMSan ma Mtqtk, pake kata sandi seperti yg dulu Ie lakuin ma Puput, Ie jadi tambah penasaran ma tu orang, y udah nama dy Ie tambahin aja ke list Who I Want to Meet di FSnya Ie.

Read More...

Guest from The Past

Ini sudah malam ke-10 Ie tidak tidur malam. Masih ada saja pikiran yang mengganggu Ie. Memang sudah waktunya Ie melepas semua, ada banyak beban dalam kepala Ie: #D2 mana sih? Selama KKN, kok gak ngasih kabar #Ni tepat setahun 'ie ditinggal Puput #Lambang pesanan Tante belum Ie kerjain lagi… (ABCD)

kemarin pagi b’ Ren nelfon (aduuuh, pake private number segala, Ie kan gak bisa nebak seseorang dari suaranya) ternyata di tengah-tengah percakapan kami, ada suara tak dikenal nyambung-nyambung, eh ternyata adalah… Mtqtk* udah gitu pake ngungkit-ngungkit soal Puput segala (“kan satu kamar…”) Aduh, kayak kedatangan tamu dari masa lampau, ingatin ‘ie akan kenangan, juga penyesalan atas kesalahan Ie tahun lalu. Ie jadi ingat kata-kata Anti:

“Semakin pahit kenangan, semakin sulit dilupakan. Tapi kenangan memang bukan untuk dilupakan, bahkan bukan untuk dikenang, karena kenangan adalah bagian yang tak bisa terlepaskan dari diri kita”

mungkin seperti matahari, kalau dia datang berarti dah saatnya malam berganti pagi… Ie akan jalani hari-hari baru setelah hari ini. Ie blm punya rencana apa2 sih, yg jelas meski gak tau mau nulis apa nanti, Ie akan anggap posting ini sebagai awal dari blog -asalmuasalku- ini...

*Mtqtk Ghczxzsh, Rghmd ne Odzbd zmc Uhbsnqhzm Kzcx *Artinya apa, coba ja tebak sendiri!*

Read More...

Kunjungan

free hit counter
 

KhuzaiE menggunakan Revolution Two Church theme oleh Brian Gardner adaptasi ke Blogger oleh Bloganol dot com