Malam Bhineka Tunggal Ika

Malam ni ada acara di depan Puspagatra; penampilan drama perdaerah. Hemzzz, tapi saya malah lebih banyak menghabiskan waktu di DD -eh ternyata dari sini bisa terdengar jalannya acara di putri, wah Mc di putra masih kalah lancar dalam mengolah kata. He3X, tiba-tiba ja jadi pingin lihat aksi ad' sebagai Mc ^_^
Eh, bentar lagi penampilan anak-anak; hidup Jateng, hidup KOBAR!

Read More...

Simfoni Hitam


Seakan menemukan sisi gelap dalam diri saya telah menjelma menjadi sosok yang siap menggambil alih diri ini
T’lah kunyanyikan alunan-alunan senduku
T’lah kubisikkan cerita-cerita gelapku
T’lah kuabaikan mimpi-mimpi dan ambisiku
...
- Sherina, Simfoni Hitam
Salut tuk Sherina... what a nice song!
Read More...

(Bukan) Sang Pemimpi


Saya tidak (lagi) punya mimpi; satu-satunya yang saya inginkan (hanyalah) mewujudkan mimpi-mimpi orang-orang yang saya sayangi...
Read More...

FIKSI MINI

Tertarik dengan tulisan Agus Noor di Jawa Pos hari Minggu kemarin (13 Desember) tentang fiksi mini:
Saya menyebutnya fiksi mini (bukan prosa mini) karena fiksi mini memang bisa juga berbentuk puisi. Tetapi, tentu saja, bila menyangkut urusan kategorisasi, fiksi mini tetap harus memiliki elemen narataif atau penceritaan, untuk membedakannnya dengan ''puisi pendek'' (misalnya). Sebab, kita tahu, ada bentuk-bentuk puisi yang sangat pendek, seperti haiku, tetapi barang kali tetap lebih nyaman bila disebut sebagai puisi pendek, bukan fiksi mini. Maka, dalam fiksi mini itu, elemen dasar penceritaan atau naratif (yang karenanya menjadi lebih dekat pada prosa) bisa ditemukan. Kita mengenal elemen penceritaan seperti penokohan (protagonis dan antagonis), konflik, obstacles atau juga complication, dan resolution. Mungkin, pada fiksi mini, justru resolution yang dihindari, karena dalam fiksi mini, akhir (ending) menjadi semacam gema yang terus dibiarkan tumbuh dalam imajinasi pembaca. Karakter menjadi kelebatan tokoh yang seperti kita kenal, tetapi tak mudah dipastikan, dan karenanya bergerak cepat. Itulah yang justru membuat kita penasaran.
Menarik sekali, dulu saya sempat aktif di SSA (Sanggar Sastra Al-Amien), sempat nulis beberapa karya -meski tidak pernah diterbitkan atau menang dalam lomba manapun. He3X, tapi begitu sampe bangku kuliah ternyata tidak ada lagi kata-kata sastra yang imajenatif dan bertele-tele dengan keindahan bahasa, perkenalan dengan filsafat telah merubah saya menjadi lebih simpel -hanya beberapa kata singkat tuk mengungkapkan perasaan hati, bukan berbait-bait puisi. Seharusnya fiksi minilah yang jadi jawaban dari mana saya harus memulai tuk menulis lagi.
Rindu
Tenang saja, rindu takkan membunuhku dalam sehari.

Read More...

Hujan

Tadi ba'da Ashar terjebak hujan, sekarang setelah Maghrib juga terjebak hujan lagi -semoga ad' tidak marah.
Hari ini hari yang basah
Udara dingin menerpa
Jangan kau lekas reda
Aku masih ingin mendengarnya
Nyanyi di rintikmu tak berirama
He3X, nulis puisi akrostik tentang hujan -memang sulit tuk memulai menulis lagi setelah sekian lama vakum.

Read More...

Betrayed

(masih) percaya pada persahabatan, meski dah kesekian kalinya dikhianati. Ternyata memang tidak mudah menjaga persahabatan di saat sudah menemukan seseorang tuk dicintai, tapi tu bukan berarti tidak mungkin kan...
Read More...

Bantal


Dapat bantuan bantal dari Idaroh Ammah. he3X, warnanya ijo -kok bukan hitam-putih-merah :)

Read More...

Hitam Putih

Kalau asatidz di sini dikategorikan dalam hitam dan putih; mu'annid dan muthi', mungkin saya kan masuk sebagai uncategorized -tidak masuk kategori manapun. Karena terlalu pendiam dan tidak banyak tingkah sehingga tidak pantas dikatakan sebagai nakal, namun sering berbuat semaunya sendiri sehingga tidak pantas tuk dianggap sebagai taat.

Read More...

S.O.S SAS

Sudah tengah semester, tapi SAS MA belum dikerjakan sama sekali -jadi ingat beberapa tahun lalu waktu masih di SAS. HeX, untungnya gak ada lagi yang nyusup kantor saya, buka komputernya SAS, lalu ninggalin pesan kayak gini;

Read More...

Evil Mode: ON


Banyak di antara teman saya yang mengkritik sikap saya yang (terlalu) dingin -he3X, bahkan ketika saya hanya mencoba tuk bersikap apa adanya, ternyata tetap saja komentar teman-teman tentang saya tidak jauh-jauh dari kata; cuek, serem, apatis, dsb. Padahal kadang di lain sisi, saya malah sering dapat kritikan karena terlalu perhatian, jadi bingung sendiri; apakah Khuzaie adalah seorang yang dingin ataukah sebaiknya?
Hemz... apa sebaiknya sekalian ja saya bersikap dingin pada semua orang ya ^_^

Read More...

Nyai

Setelah ada kepastian mundurnya wisuda saya, beberapa komentar dari teman pun mulai berdatangan; mulai keheranan, bingung, bahkan mendo'akan semoga saya tetap betah dan buka dapur sekalian ^_^
*kok nanggung ya do'anya, kenapa tidak sekalian do'akan dapat nyai yang cocok -kan istri yang shalihah adalah perhiasan dunia, di manapun bikin dapur tetap terasa ada di surga.*
Atau mungkin bila sekalian saya bilang 'alhamdulillah,' kan suda ada calonnya. Insya Allah shalihah.
Eh, jangan mikir kawin dulu, S1 saja belum!

Read More...

Tahun Depan

Saya belum menyelesaikan skripsi saya, konsekuensinya jelas; WISUDA SAYA MUNDUR TAHUN DEPAN.
Mohon maaf bila ada yang merasa dikecewakan apalagi dirugikan. He3X, tetap sambung do'a ya meski tidak bisa wisuda bareng...

Read More...

28/22

Teringat kumpul dengan P.O di malam Idul Adha kemarin, beliau menanyakan jumlah Arven yang tersisa;
P.O: Berapa jumlah Arven yang tersisa?
Arven: 28
P.O: kalau gak salah anak Zhasty masih 22, berarti siapa nih yang gak kebagian?
Saya: Saya, tadz...
. . .

Read More...

Bijak

Filsafat mengajarkan kita untuk love wisdom; mencintai kebijaksanaan. Empat tahun saya kuliah di jurusan Aqidah-Filsafat, tapi saya belum merasa menjadi seorang filsuf, belum cukup bijak, bahkan saya merasa belum pantas disebut sebagai mahasiswa filsafat.

Jadi ingat kelakar saya ke beberapa teman b' bila mereka mulai berseloroh kalau saya sok bijak; "He3X, iyalah terserah bagaimanapun penilaian anti, yang jelas tidak ada salahnya toh mencoba menjadi bijak, malah rasanya lebih tepat bila dibilang sebagai sebuah keharusan –harus bijak dong, kan adiknya Bij"

Read More...

Quotient

Diskusi singkat dengan Jo; dimulai dari hilangnya kemungkinan kami tuk jadi konsulat –masih penuh canda seperti biasa, baru akhirnya menjadi agak serius begitu memasuki tema spiritual quotient, tapi yang kami bahas kali ini adalah pada penggunaan istilah Quotient –menurutnya ini sungguh salah kaprah bila untuk kecerdasan spiritual dan emosional kita juga menggunakan istilah quotient sebagaimana untuk inteligensi.

Baiklah kita lihat dulu definisinya, dari literature yang bisa kami jangkau waktu itu, di kamus:

"Number obtained by dividing one number by another"OXFORD Learner's Pocket Dictionary

"a number which is the result when one number is divided by another"LONGMAN Dictionary of Contemporary English

Jadi kurang lebih maknanya adalah; "Jumlah yang diperoleh dari perbandingan suatu angka dengan angka yang lain."

Kalau boleh saya membawa pokok bahasan ini ke ranah metodologi penulisan skripsi, jawaban atas ketepatan penggunaan istilah quotient bisa diperoleh dengan pertanyaan berikut; Bila kita meneliti kecerdasan emosional maupun spiritual seseorang, metode penelitian kualitatif ataukah kuantitatif yang kan kita gunakan? Pantaskah bila kecerdasan emosi dan spiritual diukur dengan angka?

Nah, bila demikian adanya masih pantaskah bila kita memadukan istilah quotient dengan kata emotional, spiritual, bahkan ada juga yang membuat istilah Quranic Quotient? –he3X, bukan hak saya untuk memberikan justifikasi.

Oh ya, ada tambahan lagi dari Jo; "Bisa jadi penggunaan istilah quotient pada hal-hal di luar intelegensi hanyalah demi nebeng popularitas –gak peduli istilah tersebut salah atau benar, pokoknya keren n terkenal"

He3X, entahlah, saya bukan seorang ahli bahasa dan bukan hak saya untuk menentukan ketepatan penggunaan istiah tersebut. Dengan tulisan ini saya hanya ingin menggugah; kenapa tidak kita indonesiakan saja istilah-istilah tersebut? Bila kita tidak henti memperkaya kosa kata Bahasa Indonesia kita dengan istilah asing bukankah sama saja dengan menjual Bahasa Indonesia untuk dijajah bahasa-bahasa asing? Wallahu a'lam.
Read More...

Korban Qurban

Semenjak bergulirnnya rentetan acara Gebyar Idul Adha saya kian jarang masuk kantor, baik di saat ada jam mengajar maupun tidak, alasan simpel; Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, tahun ini kompleks kantor MA juga dipakai untuk posko pengumpulan hewan qurban –setting kantor dan juga ruang kelas yang seharusnya kondusif untuk sementara terganggu oleh aroma yang berbeda.

Tapi saya mencoba bersyukur, alhamdulillah kamar saya kin tidak lagi menyatu dengan komplek kantor MA, saya terbayang ke semester lalu ketika kamar saya masih di samping perpustakaan MA, terbayang deh bagaimana rasanya tidur dengan jarak 10 kaki dari 80an kambing dan belasan sapi.

Keadaan belum berubah paska shalat Ied, ternyata masih ada sebagian hewan kurban yang belum disembelih, yang membuat saya heran adalah anak-anak saya di kelas yang lebih senang menjadi 'amil penjaga hewan-hewan tersebut dan sekaligus membantu proses penyembelihannya.

Celakanya di hari naas tersebut jumlah anggota saya yang menjadi 'amil terlampau banyak –hampir separuh jumlah anggota kelas, dan sayapun mendapat perintah tuk mencari mereka. Dengan mengenakan jaket –karena masuk angina sejak kemarin, saya menyusul mereka ke lahan kosong di samping kompleks pemakaman, di sanalah hewan-hewan tersebut disembelih.

Kehadiran saya disambut dengan kerubutan lalat, di mana-mana tercium anyir darah, dan akhirnya membuat saya harus menutup mulut –karena seakan ada sesuatu yang hendak loncat keluar dari perut saya melalui mulut ini begitu melihat kubangan yang mngkin sedalam satu kaki, penuh berisi genangan darah yang masih merah. "Astaghfirullah, ini hanya darah korban." Saya mencoba menenangkan diri.

Sejak kecil saya punya trauma dengan darah, bahkan dalam rentang waktu yang cukup lama saya tidak berani makan daging kurban –merasa ngeri bila teringat kontak mata terakhir dengan hewan-hewan tersebut sesaat sebelum mereka disembelih, tatapan mata mereka dalam, seakan memelas memohon agar diri mereka diberi kesempatan untuk hidup.

Dan flashback pun dimulai, terbayang dalam kepala saya pembantaian dan kekejaman perang –saya tidak ingin menyebut golongan apalagi nama, tapi saya yakin semua orang bila memiliki nurani pasti bisa menilai pantas atau tidaknya kekejian yang mereka lakukan. Kita tidak lagi membahas nyawa binatang, kali ini adalah nyawa manusia; kenapa harus ada yang tega mencabut nyawa satu sama lainnya?

Entah sampai kapan setiap kali Idul Qurban saya juga menjadi korban, tepatnya korban perasaan. Nun banyak di luar sana juga tak sedikit yang menjadi korban dari pelaksanaan Qurban, bisa berupa perasaan saja seperti saya, tapi ada juga yang jadi korban secara fisik; mereka yang harus berjubel mengantri, yang terinjak, bahkan kehilangan nyawa demi mendapatkan jatah daging kurban. Sampai kapan kita disuguhi berita semacam ini? Kenapa momen sakral seperi Idul Adha justru mendatangkan kesengsaraan bagi sebagian ummat kita?

Read More...

Kunjungan

free hit counter
 

KhuzaiE menggunakan Revolution Two Church theme oleh Brian Gardner adaptasi ke Blogger oleh Bloganol dot com