Korban Qurban

Semenjak bergulirnnya rentetan acara Gebyar Idul Adha saya kian jarang masuk kantor, baik di saat ada jam mengajar maupun tidak, alasan simpel; Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, tahun ini kompleks kantor MA juga dipakai untuk posko pengumpulan hewan qurban –setting kantor dan juga ruang kelas yang seharusnya kondusif untuk sementara terganggu oleh aroma yang berbeda.

Tapi saya mencoba bersyukur, alhamdulillah kamar saya kin tidak lagi menyatu dengan komplek kantor MA, saya terbayang ke semester lalu ketika kamar saya masih di samping perpustakaan MA, terbayang deh bagaimana rasanya tidur dengan jarak 10 kaki dari 80an kambing dan belasan sapi.

Keadaan belum berubah paska shalat Ied, ternyata masih ada sebagian hewan kurban yang belum disembelih, yang membuat saya heran adalah anak-anak saya di kelas yang lebih senang menjadi 'amil penjaga hewan-hewan tersebut dan sekaligus membantu proses penyembelihannya.

Celakanya di hari naas tersebut jumlah anggota saya yang menjadi 'amil terlampau banyak –hampir separuh jumlah anggota kelas, dan sayapun mendapat perintah tuk mencari mereka. Dengan mengenakan jaket –karena masuk angina sejak kemarin, saya menyusul mereka ke lahan kosong di samping kompleks pemakaman, di sanalah hewan-hewan tersebut disembelih.

Kehadiran saya disambut dengan kerubutan lalat, di mana-mana tercium anyir darah, dan akhirnya membuat saya harus menutup mulut –karena seakan ada sesuatu yang hendak loncat keluar dari perut saya melalui mulut ini begitu melihat kubangan yang mngkin sedalam satu kaki, penuh berisi genangan darah yang masih merah. "Astaghfirullah, ini hanya darah korban." Saya mencoba menenangkan diri.

Sejak kecil saya punya trauma dengan darah, bahkan dalam rentang waktu yang cukup lama saya tidak berani makan daging kurban –merasa ngeri bila teringat kontak mata terakhir dengan hewan-hewan tersebut sesaat sebelum mereka disembelih, tatapan mata mereka dalam, seakan memelas memohon agar diri mereka diberi kesempatan untuk hidup.

Dan flashback pun dimulai, terbayang dalam kepala saya pembantaian dan kekejaman perang –saya tidak ingin menyebut golongan apalagi nama, tapi saya yakin semua orang bila memiliki nurani pasti bisa menilai pantas atau tidaknya kekejian yang mereka lakukan. Kita tidak lagi membahas nyawa binatang, kali ini adalah nyawa manusia; kenapa harus ada yang tega mencabut nyawa satu sama lainnya?

Entah sampai kapan setiap kali Idul Qurban saya juga menjadi korban, tepatnya korban perasaan. Nun banyak di luar sana juga tak sedikit yang menjadi korban dari pelaksanaan Qurban, bisa berupa perasaan saja seperti saya, tapi ada juga yang jadi korban secara fisik; mereka yang harus berjubel mengantri, yang terinjak, bahkan kehilangan nyawa demi mendapatkan jatah daging kurban. Sampai kapan kita disuguhi berita semacam ini? Kenapa momen sakral seperi Idul Adha justru mendatangkan kesengsaraan bagi sebagian ummat kita?

0 komentar:

Kunjungan

free hit counter
 

KhuzaiE menggunakan Revolution Two Church theme oleh Brian Gardner adaptasi ke Blogger oleh Bloganol dot com